Kesan dan Kepustakaan

- Kamis, 18 Mei 2023 | 09:00 WIB
Bandung Mawardi // Pegiat Literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah (Nusawara.com)
Bandung Mawardi // Pegiat Literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah (Nusawara.com)

Oleh : Bandung Mawardi

Nusawara.com - Di sejarah sastra Indonesia, kita bisa mengingat perkumpulan, komplotan, atau komunitas. Mereka tampil dengam pelbagai kemauan. Konon, pilihan bersama dengan mufakat-mufakat memungkinkan mereka melakukan perubahan-perubahan dalam arus sastra di Indonesia. Mufakat sering mengarah ke urusan sastra dewasa.

Sejak masa 1930-an sampai 1960-an, kita mencatat peran mereka besar. Mereka memang memajukan sastra. Mereka pun menimbulkan “persaingan” dan “keonaran” menjadikan sastra tak pernah sepi. Situasi terus berubah saat sastra Indonesia mulai marak dijelaskan dengan komunitas-komunitas di seantero Indonesia pada masa 1980-an dan 1990-an. Kita masih mungkin menemukan komunitas atau organisasi berpihak memajukan sastra anak di Indonesia, tak melulu sastra cap dewasa.

Usaha itu sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, mengawali dari gejolak-gejolak sastra masa 1980-an dan 1990-an. Kita kembali menengok situasi 1950-an dan 1960-an melalui buku dokumentasi berjudul Batjaan Anak-Anak: Pandangan Beberapa Achli. Buku itu merekam peristiwa diadakan dan dihimpun oleh Organisasi Pengarang Indonesia. Buku diterbitkan Balai Pustaka, 1966.

Baca Juga: Mengingat dan Singkat

Dalih dan kemauan pembuatan buku: “Djika kami tidak keliru, di Indonesia belum ada diterbitkan orang buku jang mengupas masalah sekitar batjaan anak-anak setjara luas dan mendalam berdasarkan hasil-hasil penjelidikan ilmiah.” Buku ingin berada di barisan depan, memicu kemunculan ikhtiar-ikhtiar lanjutan.

Pada masa ketenaran sebagai pengarang novel berjudul Atheis, Achdiat K Mihardja memiliki masa lalu bersama buku-buku cerita anak. Achdiat K Mihardja dalam esai berjudul “Sastrawan dan Batjaan Anak-Anak” memberi ingatan pengaruh bacaan masa kecil: “… sampai kinipun saja masih bisa merasakan kembali rasa-rasa jang pernah kualami ketika ketjil itu rasa kasihan, rasa djengkel, rasa geli, rasa takut, rasa seram dsb, apalagi rasa sedih dan sepi jang pernah saja rasakan dari buku Rusdi djeung Misnem, dimana dengan kata-kata sederhana dilukiskan dalam bentuk tembang kinanti…” Ia membaca buku-buku berbahasa Indonesia dan Sunda. Pada situasi berbeda, ia pun membaca buku sastra berbahasa asing.

Pada masa lalu, para sastrawan mengalami kebingungan dalam menulis sastra tentang anak atau sastra untuk anak. Mereka sudah terbiasa menggubah puisi, cerita pendek, dan novel. Urusan sastra untuk anak tak mudah. Mereka memiliki pengalaman sebagai pembaca buku anak-anak. Pada saat sibuk di kesusastraan, pertimbangan-pertimbangan serius minta diperhatikan bila mereka ingin menghasilkan cerita-cerita untuk anak.

Baca Juga: Bobo: Ramadhan dan Lebaran

Achdiat K Mihardja mengingatkan perkara nilai-nilai dalam cerita: kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Anak-anak memerlukan tapi tak harus digamblangkan atau tersaji membebani. Ia mengungkapkan: “Kalau penulisan jang chusus ditudjukan kepada anak-anak itu tidak menjalahi usaha pemberian bentuk murni kepada kepribadiannja itu maka tak ada baginja soal apa-apa janh harus dibawa ketempat tidur tanpa mengantuk.”

Di Indonesia, Achdiat K Mihardja dikenang sebagai penulis cerita-cerita dewasa dan remaja. Ia tak serius menekuni kesusastraan anak. Dulu, sekian pengarang tenar masih sanggup menggubah sastra untuk anak. Kita mencatat nama Mochtar Lubis, M Balfas, atau Soekanto SA. Pada masa 1980-an, kita mulai memiliki daftar panjang para pengarang tenar turut membuat novel anak atau menggubah puisi-puisi untuk anak. Mereka mungkin memang ingin memberi persembahan atau tergoda laba dari kebijakan rezim Order Baru.

Kit kembali mengingat seruan dari masa lalu. Seruan disampaikan Rusina Pamuntjak. Ia memasalahkan perpustakaan anak-anak: “Umumnja seorang anak tidak sangat pemilih dalam batjannja. Ia akan membatja buku mana sadja jang djatuh ditangannja. Disini terletak bahaja besar bahwa mungkin jang menangkap perhatiannja adalah jang belum dimengertinja atau batjaan jang nilainja rendah seperti buku komik dan madjlah murah, sehingga tidak akan menambahi pengetahuannja, malahan dapat merusak djiwa anak.”

Baca Juga: Bocah dan Sejarah

Peringatan setelah mengetahui peredaran buku-buku masa 1950-an dan 1960-an bercorak hiburan atau cabul. Ia menginginkan agar pengarang dan penerbit mengusahakan buku-buku bermutu untuk dinikmati anak-anak. Kegandrungan anak-anak dihindarkan dari pengaruh-pengaruh buruk atau politisasi. Seruan itu pernah diperhatikan tapi perkembangan sastra anak di Indonesia dan koleksi di perpustakaan memang lambat dalam mutu. Kesulitan itu mengakibatkan buku-buku sastra anak dunia dalam edisi saduran dan terjemahan sering meramaikan industri buku anak di Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.***

Halaman:

Editor: Fathur IM

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Lomba: Sastra dan Pelajaran

Selasa, 30 Mei 2023 | 11:41 WIB

Kesan dan Kepustakaan

Kamis, 18 Mei 2023 | 09:00 WIB

Mengingat dan Singkat

Sabtu, 6 Mei 2023 | 14:28 WIB

Bobo: Ramadhan dan Lebaran

Sabtu, 22 April 2023 | 18:03 WIB

Bocah dan Sejarah

Rabu, 5 April 2023 | 10:00 WIB

Kitab Berat

Senin, 3 April 2023 | 13:00 WIB

Modernitas: Anak dan Buku

Senin, 27 Maret 2023 | 11:00 WIB

Contoh Puisi Ramadhan yang Cocok untuk Anak anak

Rabu, 22 Maret 2023 | 20:20 WIB
X